Akankah Terulang Kembali ?
Jam dinding
menunjukkan pukul 04.30. Aku terbangun dari tidur lelapku. Sudah tebiasa aku
bangun jam segini, maklum aku adalah santri. Aku sekarang menuntut ilmu di
Pondok Pesantren Al Amin Mojokerto.
Pondok yang terkenal dengan bahasanya, yaitu Bahasa Inggris dan Arab. Tapi
mengapa, kini Pondok yang terkenal akan bahasanya, tak lagi dirasakan layaknya
pondok yang sehari-harinya bercakap dengan bahasa resmi. Entah dari
santrinya atau yang lain aku tidak tau.
Tapi menurut cerita dari alumni Pondok Pesantren Al Amin, dulu sebelum aku
menjabat menjadi santri pernah jalan bahasa resmi. Tapi ini semua tiggalah
kenagan.
Suara azan shubuh
memecah kesunyian pagi. Para santri terbangun dari tidurnya. Mereka lagsung
mengambil sarung dan cepat pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tapi
entah mengapa aku masih tertidur lelap? Mungkin karna aku tidur terlalu malam,
jadi aku bangun sedikit telambat. Tiba
tiba kepalaku sakit. Aku lihat di sekelilingku tidak kudapatkan satupun santri.
Hanya seorang keamanan yang membawa tongkat kecil. Langsung tanpa pikir panjang
aku keluar kamar untuk menunaikan sholat shubuh.
Aku keluar kamar
dengan menahan rasa sakit di kepala. Mungkin ini karena aku tidak bangun saat
keamanan berpatrol, jadi dia memukul kepalaku. Aku mengambil air wudhu dan
langsung pergi ke masjid walau dengan rasa cenut cenut di kepala. Rasa sakit
ini benar benar membuatku tidak kusyu’ saat menunaikan sholat.
Seusai sholat aku
mengikuti istiqosah. Entah mengapa aku tertidur didalam alunan doa yang aku
panjatkan. Akhirnya Syam merusak tidur dalam doaku.
“Tuek, bangun!
Udah selesai istiqosahnya!” Sambil
mendorong tubuhku.
“Oooh, ia baik.”
Jawabku dengan mata tertutup.
Memang, namaku
Habibi, tapi mengapa teman santri memanggilku dengan sebutan “tuek” ? Padahal
aku masih berumur 15 tahun. Padahal masih ada yang lebih tua dari pada aku di
kelas. Mukaku juga tidak begitu tua. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Aku
tak tau.
Aku keluar dari
masjid dengan langkah yang terseot-seot, mungkin terlalu lama tidur sambil
duduk, jadi kakiku sedikit sakit. Aku melihat Syam berlari keluar pondok dengan
memakai jelana olahraga dan juga bersepatu. Sekejap aku teringat bahwa hari ini
adalah Hari Jumat. Hari yang sangat aku tunggu tunggu. Tanpa pikir panjang
akupun berlari menuju kamar untuk ganti pakain olahraga.
Aku berlari
mengejar Syam yang lebih dulu. Dengan semangat aku mengejar Syam walau
kerongkonganku sedikit kering. Tapi aku belum juga melihat syam. Aku duduk
diatas batu di bawah pohon untuk sekedar melepas lelahku. Aku terkejut melihat
Syam duduk sambil minum segelas air putih di bawah pohon tak jauh dari tempatku
berteduh.
“Syam!” Seruku.
“Lho Tuek, kamu
kok ada di sini?” Tanya Syam sambil meneguk minumannya.
“Aku mengejar kamu.”
Jawabku
“Mengejar? Untuk
apa?” Tanya Syam
“Aku ingin kita
menikmati indahnya pagi di sawah belakang pondok.” Seruku
“Emang ada? Kok
aku gak pernah tau?” Sahut Syam dengan heran.
“Kamu sih, lemot
mikirnya.” Sambungku.
Akhirnya kami
memutuskan pergi ke sawah belakang pondok. Sesampainya di sana, mataku tiba
tiba memejam. Aku seakan terbuai oleh keindahan bentangan sawah yang hijau.
Burung burung bernyanyian indah. Tak mau kalah sang mentari menerbitkan
senyuman keindahan kepada kami. Memang tempat ini adalah tempat terindah yang
pernah aku datangi. Sawah dan burung seakan menjadi teman di kalau aku sedang
sedih. Aku sering mendatangi tembat ini saat aku merasa tak enak hati. Mungkin
aku adalah santri yang pertama yang menemukan keindahan pelukan alam seperti
ini.
Tiba tiba Syam
memecah keindahan yang aku rasa.
“Tuek! Kenapa kamu ini kok senyam senyu sendirian? Udah gila ya..”
“Tuek! Kenapa kamu ini kok senyam senyu sendirian? Udah gila ya..”
“Memang, aku sudah
gila karena keindahan tempat ini.”
“Kamu benar tempat
ini sangat indah. Aku tidak tau akan keberadaannya. Emang kamu tau dari mana
akan tempat ini?”
“Aku sering pergi
keluar pondok dikalau aku sedang gundah. Aku jalan jalan di sekitar pondok.
Karena keseringan aku jalan jalan aku menemukan tempat ini.”
“Aku jadi ingat
waktu di desa. Aku juga mencintai alam seperti ini.”
“Benarkah? Coba
kamu bercerita, mungkin aku tertarik untuk pergi ke desamu!”
Syam memulai
bercerita dengan mengajak aku duduk di pematang sawah. Dia mengambil kayu dan
memotongnya mejadi dua. Dan di ujungnya diberi plastik bekas. Dengan mengangkat
tangannya dia mematrikkan gaya orang yang sedang mengembala.
Memang sebelum
menjabat menjadi santri Syam adalah seorang pengembala kambing. Syam terlahir
di lingkungan yang kurang mampu, jadi dia harus rela menyisakan waktunya untuk
mengembala kambing milik tetangganya dengan upah tak banyak. Tetapi dia sangat
bersyukur atas apa yang di berikan sang pencipta kepadanya.
Suatu hari pernah
Syam mengembala kambing di tanah lapang. Tempat itu menjadi tempat utamanya
untuk mengembala kambing, entah mengapa hari ini dia sedikit kecewa. Rumput
yang hijau kini menjadi kuning, embun kini lenyap entah kemana. Mungkin tempat
itu tidak lagi mengijinkan kambing kambing kembalaan Syam untuk mengincipi
sedikit rumput yang menyegarkan.
Syam memutuskan untuk membawa kambing kambingnya ke tempat lain.
Dia mengitari Desa Peltikan hampir setengah jam tetapi belum juga menemukan
tempat yang cocok. Akhirnya Syam memutuskan untuk membawa kambingnya kembali.
Dia akan membawa kambing kambing itu jika Syam sudah menemukan tempat yang
cocok. Karna belum makan, kambing kambing itu diberi rumput bekas kemarin.
Syam memutuskan untuk pergi sendirian. Dia mencari tempat yang
cocok untuk mengembala kambingnya. Syam mengitari Desa Peltikan dengan membawa
sepeda buntutnya. Sepeda bekas peninggalan almarhum ayahnya. Karna Syam dari
kalangan bawah, dia tidak bisa membeli sepeda baru. Bahkan untuk makanpun dia
harus bekerja dulu.
Syam mengayuh sepedanya dengan kuat. Tetapi dia belum juga
menemukan tempat itu. Matahari tak lagi tersenyum hangat. Dia kini memberikan
senyuman lebarnya yang membuat badan Syam menjadi berkeringat dan panas. Syam
mengakhiri pencariannya. Dia berteduh dibawah pohon mangga. Tiba tiba terbit
senyum kecil di mulut syam. Dia melihat sebuah anak sungai tak jauh dari tempat
duduknya. Tanpa panjang lebar Syam berlari menuju sungai tersebut. Dia membasuh
muka dan sedikit minum dari air sungai. Sungai itu sangat indah, banyak
bebatuan, dan juga keasliannya masih alami. Memang desa kelahiran Syam ini
terkenal akan keindahan alamnya. Desa yang terletak di pulau Jawa khususnya
Jawa Timur ini memang sering didatangi
turis turis domestik juga kadang turis manca negarapun pernah datang ke sini
walau tidak banyak.
Tiba tiba terpikir oleh Syam mengapa tidak pergi mengembala di
Bukit Poa. Bukit Poa adalah bukit yang terletak di perbatasan Desa Peltikan.
Bukit itu sangan indah. Banyak pohon pohon. Pernah seorang warga berbicara
bahwa di atas bukit ada sebuah tanah yang terbentang luas dengan rumput
hijaunya.
Keesokan harinya Syam pergi ke Bukit Poa. Pagi itu masih sedikit
gelap. Matahari belum menunjukkan kebolehannya dalam bersinar. Syam mengambil
sepeda bututnya dan langsung mengayuh dengan kuat. Didak dia dapati seorangpun
disekitar desa. Mungkin hari masih terlalu pagi untuk melakukan aktifitas. Tapi
dengan semangat yang membara Syam tetap mengasuh pedal sepedanya.
Kini Syam berada di lereng Bukit Poa. Tidak mungkin dia membawa
sepedanya ikut naik ke bukut. Akhirnya Syam meletakkan sepedanya di bawah pohon
pinus. Syam naik bukit tanpa sepedanya. Dengan di temani sandal jepitnya dia
menelusuri jalan setapak. Syam terkejut, dilihatnya sebuah tanah lapang yang
indah. Tempat itu ternyata masih di lereng bukit, tidak terlalu ke puncak. Tau
gini Syam tidak akan meninggalkan depedanya seorang diri.
Syam sampai di tanah lapang yang hijau itu dengan senang. Dia dapat
melihat Desa Peltikan dari tempat itu. Semakin indah disaat sinar matahari
hadir di tengah tengah suasana dalam hati Syam. Dia sekejap duduk di sekitar
tanah lapang itu hanya sekedar menikmati suasana yang alami itu.
0 komentar:
Posting Komentar