Minggu, 02 Februari 2014

Kisah Nyata Salah Seorang Teman



Akankah Terulang Kembali ?

            Jam dinding menunjukkan pukul 04.30. Aku terbangun dari tidur lelapku. Sudah tebiasa aku bangun jam segini, maklum aku adalah santri. Aku sekarang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Al  Amin Mojokerto. Pondok yang terkenal dengan bahasanya, yaitu Bahasa Inggris dan Arab. Tapi mengapa, kini Pondok yang terkenal akan bahasanya, tak lagi dirasakan layaknya pondok yang sehari-harinya bercakap dengan bahasa resmi. Entah dari santrinya  atau yang lain aku tidak tau. Tapi menurut cerita dari alumni Pondok Pesantren Al Amin, dulu sebelum aku menjabat menjadi santri pernah jalan bahasa resmi. Tapi ini semua tiggalah kenagan.
            Suara azan shubuh memecah kesunyian pagi. Para santri terbangun dari tidurnya. Mereka lagsung mengambil sarung dan cepat pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tapi entah mengapa aku masih tertidur lelap? Mungkin karna aku tidur terlalu malam, jadi aku bangun sedikit  telambat. Tiba tiba kepalaku sakit. Aku lihat di sekelilingku tidak kudapatkan satupun santri. Hanya seorang keamanan yang membawa tongkat kecil. Langsung tanpa pikir panjang aku keluar kamar untuk menunaikan sholat shubuh.
            Aku keluar kamar dengan menahan rasa sakit di kepala. Mungkin ini karena aku tidak bangun saat keamanan berpatrol, jadi dia memukul kepalaku. Aku mengambil air wudhu dan langsung pergi ke masjid walau dengan rasa cenut cenut di kepala. Rasa sakit ini benar benar membuatku tidak kusyu’ saat menunaikan sholat.
            Seusai sholat aku mengikuti istiqosah. Entah mengapa aku tertidur didalam alunan doa yang aku panjatkan. Akhirnya Syam merusak tidur dalam doaku.
            “Tuek, bangun! Udah selesai istiqosahnya!”  Sambil mendorong tubuhku.
            “Oooh, ia baik.” Jawabku dengan mata tertutup.
            Memang, namaku Habibi, tapi mengapa teman santri memanggilku dengan sebutan “tuek” ? Padahal aku masih berumur 15 tahun. Padahal masih ada yang lebih tua dari pada aku di kelas. Mukaku juga tidak begitu tua. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Aku tak tau.
            Aku keluar dari masjid dengan langkah yang terseot-seot, mungkin terlalu lama tidur sambil duduk, jadi kakiku sedikit sakit. Aku melihat Syam berlari keluar pondok dengan memakai jelana olahraga dan juga bersepatu. Sekejap aku teringat bahwa hari ini adalah Hari Jumat. Hari yang sangat aku tunggu tunggu. Tanpa pikir panjang akupun berlari menuju kamar untuk ganti pakain olahraga.
            Aku berlari mengejar Syam yang lebih dulu. Dengan semangat aku mengejar Syam walau kerongkonganku sedikit kering. Tapi aku belum juga melihat syam. Aku duduk diatas batu di bawah pohon untuk sekedar melepas lelahku. Aku terkejut melihat Syam duduk sambil minum segelas air putih di bawah pohon tak jauh dari tempatku berteduh.
            “Syam!” Seruku.
            “Lho Tuek, kamu kok ada di sini?” Tanya Syam sambil meneguk minumannya.
            “Aku mengejar kamu.” Jawabku
            “Mengejar? Untuk apa?” Tanya Syam
            “Aku ingin kita menikmati indahnya pagi di sawah belakang pondok.” Seruku
            “Emang ada? Kok aku gak pernah tau?” Sahut Syam dengan heran.
            “Kamu sih, lemot mikirnya.” Sambungku.
            Akhirnya kami memutuskan pergi ke sawah belakang pondok. Sesampainya di sana, mataku tiba tiba memejam. Aku seakan terbuai oleh keindahan bentangan sawah yang hijau. Burung burung bernyanyian indah. Tak mau kalah sang mentari menerbitkan senyuman keindahan kepada kami. Memang tempat ini adalah tempat terindah yang pernah aku datangi. Sawah dan burung seakan menjadi teman di kalau aku sedang sedih. Aku sering mendatangi tembat ini saat aku merasa tak enak hati. Mungkin aku adalah santri yang pertama yang menemukan keindahan pelukan alam seperti ini.
            Tiba tiba Syam memecah keindahan yang aku rasa.
            “Tuek! Kenapa kamu ini kok senyam senyu sendirian? Udah gila ya..”
            “Memang, aku sudah gila karena keindahan tempat ini.”
            “Kamu benar tempat ini sangat indah. Aku tidak tau akan keberadaannya. Emang kamu tau dari mana akan tempat ini?”
            “Aku sering pergi keluar pondok dikalau aku sedang gundah. Aku jalan jalan di sekitar pondok. Karena keseringan aku jalan jalan aku menemukan tempat ini.”
            “Aku jadi ingat waktu di desa. Aku juga mencintai alam seperti ini.”
            “Benarkah? Coba kamu bercerita, mungkin aku tertarik untuk pergi ke desamu!”
            Syam memulai bercerita dengan mengajak aku duduk di pematang sawah. Dia mengambil kayu dan memotongnya mejadi dua. Dan di ujungnya diberi plastik bekas. Dengan mengangkat tangannya dia mematrikkan gaya orang yang sedang mengembala.
            Memang sebelum menjabat menjadi santri Syam adalah seorang pengembala kambing. Syam terlahir di lingkungan yang kurang mampu, jadi dia harus rela menyisakan waktunya untuk mengembala kambing milik tetangganya dengan upah tak banyak. Tetapi dia sangat bersyukur atas apa yang di berikan sang pencipta kepadanya.
            Suatu hari pernah Syam mengembala kambing di tanah lapang. Tempat itu menjadi tempat utamanya untuk mengembala kambing, entah mengapa hari ini dia sedikit kecewa. Rumput yang hijau kini menjadi kuning, embun kini lenyap entah kemana. Mungkin tempat itu tidak lagi mengijinkan kambing kambing kembalaan Syam untuk mengincipi sedikit rumput yang menyegarkan.
           
Syam memutuskan untuk membawa kambing kambingnya ke tempat lain. Dia mengitari Desa Peltikan hampir setengah jam tetapi belum juga menemukan tempat yang cocok. Akhirnya Syam memutuskan untuk membawa kambingnya kembali. Dia akan membawa kambing kambing itu jika Syam sudah menemukan tempat yang cocok. Karna belum makan, kambing kambing itu diberi rumput bekas kemarin.
Syam memutuskan untuk pergi sendirian. Dia mencari tempat yang cocok untuk mengembala kambingnya. Syam mengitari Desa Peltikan dengan membawa sepeda buntutnya. Sepeda bekas peninggalan almarhum ayahnya. Karna Syam dari kalangan bawah, dia tidak bisa membeli sepeda baru. Bahkan untuk makanpun dia harus bekerja dulu.
Syam mengayuh sepedanya dengan kuat. Tetapi dia belum juga menemukan tempat itu. Matahari tak lagi tersenyum hangat. Dia kini memberikan senyuman lebarnya yang membuat badan Syam menjadi berkeringat dan panas. Syam mengakhiri pencariannya. Dia berteduh dibawah pohon mangga. Tiba tiba terbit senyum kecil di mulut syam. Dia melihat sebuah anak sungai tak jauh dari tempat duduknya. Tanpa panjang lebar Syam berlari menuju sungai tersebut. Dia membasuh muka dan sedikit minum dari air sungai. Sungai itu sangat indah, banyak bebatuan, dan juga keasliannya masih alami. Memang desa kelahiran Syam ini terkenal akan keindahan alamnya. Desa yang terletak di pulau Jawa khususnya Jawa Timur  ini memang sering didatangi turis turis domestik juga kadang turis manca negarapun pernah datang ke sini walau tidak banyak.
Tiba tiba terpikir oleh Syam mengapa tidak pergi mengembala di Bukit Poa. Bukit Poa adalah bukit yang terletak di perbatasan Desa Peltikan. Bukit itu sangan indah. Banyak pohon pohon. Pernah seorang warga berbicara bahwa di atas bukit ada sebuah tanah yang terbentang luas dengan rumput hijaunya.
Keesokan harinya Syam pergi ke Bukit Poa. Pagi itu masih sedikit gelap. Matahari belum menunjukkan kebolehannya dalam bersinar. Syam mengambil sepeda bututnya dan langsung mengayuh dengan kuat. Didak dia dapati seorangpun disekitar desa. Mungkin hari masih terlalu pagi untuk melakukan aktifitas. Tapi dengan semangat yang membara Syam tetap mengasuh pedal sepedanya.
Kini Syam berada di lereng Bukit Poa. Tidak mungkin dia membawa sepedanya ikut naik ke bukut. Akhirnya Syam meletakkan sepedanya di bawah pohon pinus. Syam naik bukit tanpa sepedanya. Dengan di temani sandal jepitnya dia menelusuri jalan setapak. Syam terkejut, dilihatnya sebuah tanah lapang yang indah. Tempat itu ternyata masih di lereng bukit, tidak terlalu ke puncak. Tau gini Syam tidak akan meninggalkan depedanya seorang diri.
Syam sampai di tanah lapang yang hijau itu dengan senang. Dia dapat melihat Desa Peltikan dari tempat itu. Semakin indah disaat sinar matahari hadir di tengah tengah suasana dalam hati Syam. Dia sekejap duduk di sekitar tanah lapang itu hanya sekedar menikmati suasana yang alami itu.


0 komentar:

Posting Komentar